Cerpen : 01-Farrah Nurkhaliza

Apa Itu Kebahagiaan?
Karya : Farrah Nurkhaliza (2016)



Suara peluru yang ditembakan dari pistol menggema di telingaku. Sudah lama aku berusaha menutup indera pendegarku dengan tujuan untuk meredam suara mengerikan yang sedari tadi mengganggu diriku. Tak ada yang dapat kulakukan selain menyembunyikanku dari bahaya di luar sana. Bahuku terguncang, menandakan aku menangis. Aku khawatir, takut, kalut. Aku khawatir akan orang tuaku yang berada di luar sana. Terlebih lagi banyak rintihan dari anak seumuranku.

Di sini, aku hanya berharap. Berharap orang tua dan keluargaku baik-baik saja. Aku belum bisa hidup sendiri di umur sedini ini. Untuk seorang anak kecil berumur enam, kata perang bukanlah suatu hal yang lazim dibicarakan. Apalagi untuk dialami. Ya, kota kecil tempatku tumbuh ini sedang dilanda perang hebat antara warga kotaku yang memberontak dengan pasukan militer. Aku tak tahu penyebab terjadinya perang di sini. Yang aku tahu adalah di luar sana banyak orang bersenjata ketika aku bangun dari tidurku. Tragis.

Aku lagi-lagi menangis. Aku sangat takut. Bagaimana bila keluarga dan teman-temanku tak selamat? Bagaimana bila orang-orang jahat itu menemukan diriku? Kapan ini semua akan berakhir? Banyak sekali pertanyaan yang mengendap di kepalaku. Tentu, pertanyaan-pertanyaan itu yang membuat diriku semakin takut. Bahuku terguncang semakin kencang. Tak ada kata yang dapat menggambarkan tentang betapa kalutnya perasaanku saat ini.

Dalam hati, aku bertanya. Kenapa di masa kecilku aku harus mengalami kejadian seperti ini? Aku ingin merasakan kebahagiaan, kehangatan keluarga, bermain bersama teman sebayaku. Bukan terjebak di zona perang yang merugikan banyak orang. Aku ingin kebebasan. Mengapa hidupku menyedihkan? batinku.

“Letakkan korban-korban tersebut di sini!” telingaku menangkap teriakan seseorang. Aku takut orang tersebut akan menemukanku di balik tembok yang berdiri kokoh namun tak memiliki atap dan beberapa bagiannya telah rusak ini.

Peluh membanjiri dahiku akibat teriknya matahari yang berada tepat di atas kepala. Aku lelah harus bersembunyi terus menerus. Aku merasakan dahaga dan rasa lapar menyerangku. Apakah aku harus keluar? Bagaimana bila ada seseorang yang menemukanku lalu aku dibunuh? Lagi-lagi pertanyaan menghampiri diriku.

Dor! Dor! Dor!

Anna, anak tersebut, bangun dari tidurnya. Lagi-lagi mimpi yang sama sejak dirinya ditemukan oleh seorang budak. Selalu seperti itu. Mimpinya selalu berakhir di saat suara peluru ditembakan sebelum akhirnya ia bangun dengan nafas terengah-engah.

Lagi-lagi mimpi itu, Anna menggerutu dalam hati sambil bangkit dari tempat tidurnya.

 Ini sudah 3 hari semenjak ia tinggal di rumah ini. Rumah ini tidaklah besar dan bagus. Setidaknya rumah ini dapat melindungiku, Anna membatin.

Tetapi yang membuat Anna tak nyaman adalah perlakuan sang ibu–yang menemukan dirinya– yang terkadang semena-mena. Jangan salahkan Anna bila ia tak menuruti kata-kata ibunya. Anak kecil mana yang mau disuruh mencuci baju? Hei, Anna masih kecil. Tak seharusnya ibunya menyuruhnya melakukan pekerjaan orang dewasa. Ibunya. Setidaknya Anna menganggap budak yang menemukannya sebagai ibunya sendiri. Karena ia sendiri tak tahu dimana keluarganya berada semenjak perang dimulai.

“Kamu sudah bangun? Jangan lupa diminum susunya.” Lihat, bahkan ibunya bersedia membuatkannya susu. Sangat baik, bukan?

“Baik, Bu.” Jawab Anna lambat namun sarat akan kepatuhan.

“Nanti kamu harus pergi mencari bahan makanan untuk kita hari ini. Atau kita tak akan makan.” Ucap sang ibu.

Walaupun ibunya baik, tetap saja Anna harus berusaha keras untuk makan sehari-hari. Tak usah heran. Karena ibunya seorang budak, maka penghasilannya pun tak seberapa, ‘kan? Ibunya sudah berusaha untuk merawat Anna, mungkin ini yang harus Anna lakukan hitung-hitung sebagai balas budi.

Aku lelah setiap hari harus bekerja. Aku ingin menikmati masa kecilku dengan bahagia. Bermain dengan teman-temanku. Bukan seperti ini, keluhnya. Ingin rasanya Anna bicara seperti itu pada ibunya, tetapi entah mengapa lidahnya sendiri terasa kelu. Tetapi walau ia harus hidup seperti ini, ia sudah merasa senang. Akan jadi apa hidupnya bila ia tak ditemukan oleh budak tersebut?

Beruntungnya Anna, rumah yang sekarang ditempati berada jauh dari kota asalnya. Sehingga ia tak perlu mendengar suara baku tembak atau rintihan orang-orang. Tetapi tetap saja, keselamatannya masih belum aman. Anak yang malang.

Saat Anna akan membersihkan dirinya, ia melihat sepasang pakaian yang hari itu ia pakai saat sang ibu menemukannya. Tiba-tiba saja ia teringat kejadiannya.

“Orang-orang tak memiliki hati itu semakin kejam!” kata seorang wanita. Anna melihat –mengintip– figurnya. Ia seorang wanita setengah baya sedang berlari dengan nafas putus-putus mendekati tembok tempat Anna sembunyi.

Anna meringkuk ketakutan. Ia takut wanita yang mendekat adalah orang-orang yang jahat.

“Kamu sedang apa di sini?” pertanyaan yang dilontarkan oleh wanita tersebut membuat Anna terlonjak kaget.

Anna menatap wanita itu takut-takut. “A-aku ... aku sedang sembunyi. Aku takut.”

“Dimana keluargamu?”

Anna menggeleng. “Aku pun tidak tau.” Gadis kecil yang malang. Memang, setelah ia bangun tidur, ia tak melihat satupun anggota keluarganya di dalam rumah.

“Mau ikut denganku?” tawar wanita itu sambil menjulurkan tangannya pada Anna.

“HEI, CEPAT MANDI! LALU CARILAH MAKAN!” teriak sang ibu pada Anna yang membuatnya tersadar dari lamunan. Perlahan namun pasti, Anna pun mulai membersihkan dirinya.

***

Hari demi hari Anna lewati dengan bekerja keras. Ia tidak tahu mengapa sang ibu berubah menjadi kejam dan semakin kejam tiap harinya. Terkadang, bila Anna pulang dengan tangan kosong, ia dicambuki dengan sapu lidi oleh sang ibu sampai memar tersebar di badannya. Anna berbuat salah sedikitpun, sang ibu akan mengurungnya di dalam kamar mandi. Bukankah berbuat kesalahan merupakan hal manusiawi? Kemana perginya rasa prikemanusiaan ibunya tersebut?

Ayah, Bunda, aku rindu. Aku ingin kebahagiaan, rintih Anna dalam hati.

Matahari mulai turun bersiap-siap untuk bergantian menjaga bumi dengan bulan. Langitpun mulai berubah warna menjadi jingga yang sangat indah. Anna beharap, masa kecilnya dapat menjadi seindah langit sore ini. Menyedihkan, di saat anak umur sebayanya bermain dengan teman-temannya, bersantai dengan keluarga, merasakan kasih sayang orang tua, canda tawa menemani hari-hari, tetapi di sinilah Anna. Berjuang mempertahankan hidupnya, tak ada kasih sayang orang tua, mendapat perlakuan tak menyenangkan dari ibu angkatnya, tak memiliki teman. Anna ingin pergi menemui keluarganya di kota sana, tetapi bahaya sangat mengancam dirinya.

“Anna, cepat masuk! Hitungan ketiga kamu tidak masuk, ibu biarkan kamu tidur di luar!” Ancam Ibu.

Anna terburu-buru lari memasuki rumah. Padahal baru saja ia bersantai di luar untuk menikmati indahnya dunia setelah ia lelah bekerja seharian, ia sudah dihadapi kembali dengan mimpi buruk–ibunya. Lagi-lagi, Anna dicambuki. Kesalahan apa yang Anna perbuat? Entahlah. Sepertinya ibu angkatnya itu adalah seorang psikopat yang kerjaannya menyiksa. Jika bisa, Anna ingin melaporkan perbuatan sang ibu pada lembaga perlindungan anak.

“AAARGH!” teriak Anna ketika sapu lidi mengenai punggungnya. Ibunya bahkan tak peduli dengan teriakan Anna yang menyayat hati. Ia lagi-lagi menyambuki Anna dengan sapu lidi tersebut.

“I-ibu ..., a-apa salahku?” tanya Anna dengan susah payah.

Alih-alih menjawab, ibunya semakin menyiksa Anna. Malangnya gadis itu.

Aku ingin semua ini berakhir.

***

Sinar matahari yang mengintip dari celah jendela kamar Anna membuatnya terbangun. Badannya sulit digerakan akibat perlakuan dari ibunya kemarin. Mengingatnya, Anna tersenyum miris. Ia pikir, dengan dirawatnya Anna oleh ibunya, ia akan merasakan kebahagian. Ternyata Anna salah besar.

“Sudah bangun? Rapikan tempat tidurmu!” kata sang ibu dari ambang pintu kamar Anna.

Setelah merapikan kamarnya, Anna bergegas keluar kamar. Ia melihat ibunya sedang memotong sayuran yang sudah layu. Anna berjalan mendekatinya.

Terbesit di benaknya satu pertanyaan. Anna memutuskan untuk bertanya pada ibunya. “Ibu, apakah dirimu tahu dimana keberadaan orangtuaku?”

Ibunya menoleh. “Orangtuamu sudah bahagia di atas sana.” jawabnya cuek. Padahal, Ibu sendiri tak tau dimana orangtua Anna. Maka dari itu ia bilang pada Anna bahwa orangtuanya telah wafat.

“Sebenarnya, apa artinya kebahagiaan itu?”

“Perasaan dimana kamu mendapat apa yang kamu inginkan. Sebenarnya, arti kebahagiaan itu relatif.”

“Um, apa aku bisa pergi ke atas sana, Bu? Bagaimana caranya?” tanya Anna dengan polos.

“Bisa. Kalau kamu sudah tak memiliki nyawa lagi.”

“Bagaimana cara agar kita tak memiliki nyawa lagi?”

“Dengan tenggelam di dalam bak pun sudah membuat kita tak bernyawa. Sudah, jangan banyak tanya! Cepat mandi!” jawab ibunya asal sambil melemparkan Anna dengan sisa sayuran yang dipotongnya tadi.

Dengan cepat, Anna memasuki kamar mandi. Ia lelah, padahal hari baru saja dimulai.

***

Esok harinya, ketika Ibu berjalan menuju dapur, ia tak mendengar suara Anna. Dilihat kamar Anna, kosong. Dimana anak itu? Apa sudah mencari makan? tanya Ibu dalam hati.

Ibu mengetuk pintu kamar mandi. “Anna? Kamu ada di dalam? Buka pintunya! Ibu ingin buang air kecil!”

Hening. Tak ada jawaban.

Sekali lagi Ibu mengetuk pintunya. Bahkan menggedor. “HEY! CEPATLAH!” Ibu menghela hafas, mengetahui tak ada jawaban.

Akhirnya Ibu pergi ke kamar Anna. Barangkali Anna ternyata sudah kembali ke kemarnya. Ketika sampai di dalam kamar, Ibu menemukan sepucuk surat berada di bibir kasur. Dibuka kertas itu perlahan. Lalu dibacanya.

Hai, Ibu! Maaf sebelumnya jika tulisanku sulit dibaca karena terlalu berantakan. Maklum, aku baru belajar beberapa bulan lalu. Jika Ibu telah membaca surat ini, mungkin aku sudah berada di atas sana bersama orangtua dan keluargaku, dan telah merasakan kebahagiaan. Iya, aku rindu mereka. Aku ingin bertemu dengan mereka. Maka dari itu aku memutuskan untuk pergi ke sini. Apa yang Ibu ucapkan kemarin benar. Di sini aku merasakan kebahagiaan. Aku merasakan apa yang aku inginkan sejak lama.

Aku hanya ingin bahagia. Aku merasa tidak enak hidup seperti ini. Aku ingin masas kecilku berjalan normal. Tidak seperti ini. Aku ingin bilang kepada anak-anak di luar sana yang memiliki keluarga lengkap dan memiliki kehangatan di dalamnya untuk selalu bersyukur. Syukuri semuanya. Tidak semua anak-anak dapat merasakan bahagianya masa kecil, seperti aku.

Maaf bila aku merepotkanmu. Maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat. Terimakasih telah merawatku. Terimakasih untuk informasi tentang cara agar tak memiliki nyawa lagi. Terimakasih untuk semuanya. Setidaknya aku telah merasakan rasanya kasih sayang, walau lebih banyak tersiksa. Alasan mengapa aku memutuskan untuk pergi menyusul orangtuaku adalah, aku ingin bahagia. Seperti apa yang Ibu bilang, di atas sini aku bahagia. Hanya di sini aku merasakan kebahagiaan. Benar, bahagia itu relatif. Dan ini bahagia yang aku inginkan.

Jaga dirimu baik-baik. Sampaikanlah salamku pada anak-anak di luar sana untuk selalu bersyukur. Buka mata kepala dan mata hati, lihatlah, banyak anak-anak yang tidak menikmati masa kecilnya dengan indah. Aku, salah satu dari anak-anak yang masa kecilnya tak menyenangkan, hanya ingin mengucapkan selamat. Selamat atas apa yang kalian semua punya.

Ibu, sampa di sini, ya. Aku pegal menulis, hehehe. Sampai jumpa di atas sini. Semoga harimu menyenangkan! Maaf dan terimakasih.

Ibu bergegas menuju kamar mandi. Dengan satu hentakan, pintu kamar mandi terbuka. Di sanalah Anna. Di dalam ember penampung air yang besar dengan badan yang membiru akibat kehabisan nafas. Tak kuasa Ibu menahan air mata yang telah membendung, memaksanya untuk jatuh dari matanya. Dilihatnya Anna yang sudah tak bernyawa sedang tersenyum.

Ia benar-benar telah bahagia di sana. Mungkin memang ini jalannya untuk mendapat kebahagiaan, batin sang ibu berduka.

***

Comments