Oleh:
Dertien
Mentari senja menerpa
tubuhku dengan kemilau cahaya lembut, tak sesilau tiga jam sebelumnya. Angin
yang nakal menerbangkan rambutku hingga belahannya tercecah – cecah di seputar
tengkang mata dan jidat. Menerabas wajah. Kelopak mataku mengatup menikmati
embusannya. Kuhela napas panjang, kupenuhi rongga dadaku hingga kembung. Kapuk
randu yang terbuai, jatuh bergulung – gulung. Disaksikan seekor dekuku yang
diam menekur.
Daun
– daun dan ranting berjatuhan. Luruh dari tangkai – tangkainya. Beberapa lembar
daun pisang berkibar layaknya panji – panji perang, sungguh sepadan dengan
bajuku yang lepas kancing – kancingnya. Mataku terbeliak ketika melihat
sebagian buahnya menggantung kuning, menggoda nafsuku untuk melahapnya. Aku
meraih ranting kecil di dekatku, lalu kusenggol sedikit kulit kuningnya, dan
jatuh tepat di depan mataku. Cekatan, Darwis menangkap pisang itu.
“Kau sudah makan satu tadi! Jangan belajar
jadi orang rakus! Orang tamak! Jangan belajar jadi orang tidak adil. Ini
bagiannya Juang, bukan bagianmu!” hardik Darwis, ia melotot seperti kerasukan
iblis.
Kubalas
celetukan pedas Darwis dengan sebuah tatap sinis penuh amarah.
“Apa kau!” hardiknya lagi,
getas. Matanya masih melotot. Lautan mata itu memutih semua.
“Aku cuman kepingin melihat
pisang ini Wis. Kan aku yang memetik. Kau tidak perlu kasar
begitu padaku!” kataku membela.
“Lihat, ya lihat saja! Tidak
boleh minta! Dari awal kita sudah sepakat kalau satu orang hanya dapat jatah
satu pisang. Sedangkan kamu sudah makan tadi.” ucapnya. Matanya menghujam anak
mataku. Lantas kupalingkan wajahku.
“Aku
tahu, itu bagian Juang. Aku tidak akan mengambilnya Wis!” balasku kesal.
“Sudah
sudah! Jangan bertengkar! Lagi pula itu hanya sebuah pisang, tidak perlu
dibesar – besarkan!” tangkas Tegar, melerai perdebatan kami.
Meskipun
tinggal di tempat terasing sebagaimana Pluto, di pedalaman kecil dekat hutan
pinus, namun aku tak sendiri. Serupa Pluto yang ditemani saterlit alamnya, aku
juga selalu bersama sahabatku : Darwis, Tegar, dan Juang.
“Lebih
baik sekarang kita pergi ke pertustakaan, kita harus membaca sekaligus
mengembalikan buku yang sudah kita pinjam ayo!” suruh Tegar.
Tanpa
pikir panjang, kami pergi meninggalkan kebun pisang itu, dan pergi menuju
perpustakaan. Perpustakaan itu letaknya cukup jauh dari desa kami. Butuh
sekitar satu jam untuk sampai di sana dengan berjalan kaki. Bukit, sungai, dan
jembatan, semua itu harus kami lewati untuk sampai di gudang buku yang kami
sebut dengan perpustakaan.
Sementara
itu, wajah bumi telah sepenuhnya mengeras. Cokelat kelabu warnanya. Terhampar
luas sebagai lautan kematian di bawah tangkupan langit lazuardi nan cemerlang.
Sawah – sawah dan jaringan empang di sela – selanya kering kerontang, tak
setitik air pun ditemukan di sana. Inilah musim kemarau.
***
Tepat
setelah kami berhasil menuruni bukit Kaligaru, suara gemuruh terdengar hingga
tiga kali. Sudah lama sekali kami tidak mendengar suara seperti itu. Kurasai
satu titik air menghujam pucuk hidungku.
“Hujan!
Hujan mulai turun! Aku serius, aku kejatuhan air di pelipisku.”
Berkata
demikian, Juang tengadah ke langit dengan wajah berbinar – binar.
“Iya,
sudah mulai turun rintik – rintiknya! Aku juga sudah kejatuhan beberapa kali.
Menurut
prakiraan cuaca, daerah kami bersuhu udara maksimal 27 derajat, bisa dipastikan
setiap hari, setiap malam akan turun hujan. Seperti siang ini, hujan lebat
menemani perjalanan kami. Namun seiring berjalannya waktu. Kami benar - benar
terjebak hujan yang lebat. Hanya kami berempat, para pendekar Empat Arjuna.
Gemuruh berkepanjangan terdengar sangat mencekam. Selain kami, tak ada seorang
pun yang melintas di tempat sesepi ini
“Berlindung! Berlindung! Berlindung!” pekik Darwis
memberi komando.
Akhirnya
di sudut tikungan, kami berhenti. Kami berlindung di bawah pohon serabut yang
mulai menderitakan gigil. Pohon serabut ini tinggi dan besar, diameternya saja
sudah sekitar satu setengah meter.
Kami
semua diam. Tak ada yang kami dengar selain kerapyak rau bunyi hujan dan detak
takut jantung kami sendiri. Gelap, takut, giris, sedih, lembap, basah, dan
gigil. Bukit – bukit hitam menjulang tinggi layaknya hantu raksasa yang
menyeramkan. Aku yang berusia paling muda selalu meminta perlindungan terutama
kepada Tegar, yang paling dewasa dari kami berempat. Aku meraih tangannya, dan
tubuhku menciut kedinginan.
“Apa
yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku.
Tak ada yang menyahut. Kami saling pandang
meskipun tak ada yang dapat kami lakukan selain melawan rasa dingin luar biasa
ini.
“Mau
tak mau kita harus menembus hujan ini. Ayo, kita terobos saja!” cetus Tegar.
“Gila
kau, Gar! Hujan lebat begini mau kita tembus juga?” protesku, “tidak! Aku tidak
setuju. Aku tidak mau mati tersambar petir!”
Kali
ini aku tidak setuju dengan idenya. Musim penghujan tahun lalu intensitas petir
di bukit ini sangat besar. Tak dapat disangkal juga bahwa pertumbuhan
awan cumulonimbus, awan yang membawa partikel listrik itu di
tempat ini begitu tinggi.
“Aku
juga tidak mau mati konyol. Lebih baik, kita bertahan dulu di sini paling
tidak, menunggu hujan agak reda. Kita tidak mungkin menembus hujan selebat
ini.” Darwis setuju dengan keberatanku.
“Tidak
mungkin kita mati karena menembus hujan! Lagi pula perpustakaan sudah dekat.
Kita harus mengembalikan buku yang sudah kita pinjam.” kata Tegar ngotot.
Menyebrangi
sungai Kalirandu malam hujan begini? Di pagi hari saja kami harus mengakui arus
sungai Kalirandu menjadi halangan serius, sering kami merasa kewalahan.
Bagaimana jika siang hari ditambah hujan lebat?
“Gila
kau! Kita bisa mati di jalan Gar!” pekik Darwis.
“Justru
di sinilah kita akan mati! Karena kita diam maka tubuh kita tidak mengeluarkan
keringat. Dan tubuh kita akan membeku seperti es balok, lalu mati kedinginan.
Kita akan mati jika tidak menembus hujan ini!” nada bicara Tegar meninggi.
Juang
yang dalam keadaan segenting apapun tetap tenang bagai Pantai Indah Kapuk
dikepung banjir Jakarta, atau laksana Amerika dilanda krisis ekonomi dunia,
masih diam dalam posisi seperti itu, diam berdekut, sambil menggigit ujung
sarungnya.
“Pokoknya
mau tidak mau kita harus menerobos hujan! Hanya itu satu-satunya pilihan kita
sekarang. Ayo cepat sebentar lagi perpustakaannya tutup.” ujar Tegar ngotot.
“Tunggu
Gar!” jerit Darwis menahan langkah Tegar, “bagaimana kalau di tengah jalan kita
disambar petir? Lalu, bagaimana cara kita melewati sungai Kalirandu?”
Aku
dan Juang diam serupa menhir yang terkutuk.
Namun,
tanpa menjawab, Tegar segera meninggalkan kami, Kecipak langkah kakinya sempat
menyipratkan air ke pipi dan mataku. Aku ini marah tapi urung.”
“Sekarang
saja air Sungai Kalirandu sudah meluap Gar! Pasti itu! Lebih baik kita menunggu
hujan reda. Jadi, walaupun air sungai meluap, setidaknya kita bisa mendayung
dengan tenang. Tidak sambil hujan – hujanan begini!” Darwis tetap kukuh dengan
pendapatnya.
“Iya
Gar, kita di sini saja dulu. Lagi pula kita masih bisa mengembalikannya beso
pagi. Selain itu kita juga tidak perlu membaca buku setiap hari kan?” si
pendiam Juang pun ikut keberatan.
“Kalau
kita telat mengembalikan buku ini kita bisa kena denda Ju! Memangnya kau rela
memakai upah kerjamu di lading? Lagi pula membaca itu bukan sekedar permainan
Ju! Membaca itu jembatan ilmu! Jangan dianggap remeh! Lagi pula Rasul sudah
menganjurkan kita membaca!” Tegar mengusulkan tanggapan.
Dwar! Petir
menjadi jeda yang tak diharapkan bersamaan dengan Tegar yang membacakan ayat Al
Quran.
“Percayalah
pada ayat yang kubacakan tadi. Kekuasaan Allah di atas segala – galanya. Kita
tak perlu takut disambar petir atau terseret arus sungai!” suara Tegar berebut
dengan hujan.
Begitu
itulah Tegar, seperti itulah dirinya. Apa – apa yang ia katakan dan ia lakukan,
semua dikembalikan ke petunjuk Allah.
“Gar!
Jangan Gar!” pekik Darwis.
Lima
langkah Tegar meniggalkan kami. Anak itu menuju semak – semak. Tebakanku hanya
satu, ia mencari daun pisang untuk menutupi kepalanya.
“Kau
mau, ayah-ibumu menangisi kematianmu Gar? Mau kau, kita semua mati dikuburkan
bersama – sama? Sekaligus, satu waktu? Semua anggota Empat Arjuna mati? Mau
kau, cita – cita kita berakhir malam ini?” ujar Darwis kesal.
“Wis,
berapa kali mesti kubilang, resiko mati karena gigil justru lebih besar jika
kita tetap berada di tempat ini. Menembus hujan adalah pilihan terbaik karena
tubuh kita menjadi hangat. Tidak diam seperti batu. Tahu kau!” balas Tegar
penuh emosi.
Ini
sungguh seperti pertunjukan wayang kulit. Aku dan Juang adalah penonton, diam,
bengong, melongo, sebentar kemudian, maglub, tertawa, sedih, menangis.
Sementara itu, Darwis dan Tegar adalah Kurawa dan Pandawa yang selalu
meributkan kekuasaan.
“Jangan
Gegabah, Gar! Di mana akal sehatmu? Bodoh sekali kau jadi orang! Sepanjang
perjalanan ini kita diancam petir. Jangan bodoh!” pekik Darwis.
Tanpa
banyak cingcong, Tegar berbalik badan, kemudian menghilang di
antara kerapatan hujan.
“Gar,
berhenti Gar! Tegar, jangan... Gar!” aku pun menjerit, lost
control. Melihat Tegar benar – benar nekat menembus hujan, aku seperti
melihat kematian anak itu. Aku pun menitihkan air mata.
“Maafkan
aku, Gar...” lirih kudengar Darwis menyesali pertengkarannya barusan, matanya
menatap hamparan sawah yang rapat tertutup hujan.
Tegar
telah lenyap sama sekali. Kami pun diam membisu.
“Apa
yang harus kita lakukan sekarang?” Juang memecah kebisuan.
Darwis
tampak murung, kuyakin ia tengah meratapi nasib seorang Tegar.
***
Beberapa
jam telah berlalu semenjak tragedi sarat emosi tadi. Aku, Darwis dan Juang
memutuskan untuk meneruskan perjalanan, seiring berharap Tegar saat ini sedang
menunggu kami di perpustakaan. Namun jauh dalam hati kecilku, sangat sulit
membayangkan Tegar sampai di perpustakaan dengan selamat.
Memang
begitulah Tegar. Semenjak dibangunnya perpustakaan di sebrang desa kami, ialah
yang paling bersemangat untuk membaca. Menurutnya ini adalah kesempatan yang
sangat langka. Karena tidak semua desa di pedalaman memiliki fasilitas untuk
membaca buku. Di saat pemuda desa lain sibuk bermain atau membantu orang tua
mereka di ladang, seorang Tegar selalu menyempatkan untuk mengajak kami untuk
membaca buku di perpustakaan. Ia selalu percaya, dengan terus membaca ia dapat
memperluas wawasannya hingga ia bisa menggapai impiannya; mengusir para investor asing dari lahan sawit milik
desa kami.
***
Sesampainya
di perpustakaan kami tidak melihat sosok seorang yang kharismatik seperti
halnya Tegar. Sudah sekitar 20 menit kami mencari bocah kepala batu itu, namun
hasilnya nihil. Akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada seorang pemuda
yang tengah membaca buku di dekat sebuah lemari pendingin, tepat sebelah pintu
masuk.
Tampak
dari belakang, orang itu menggunakan pakaian sederhana dengan kaus hitam dengan
motif buku di bagian belakang, lalu sepasang bakiak kumuh yang ia gunakan. Kami
terhenti pada langkah kelima saat hendak menghampiri orang itu. Suara sirine
ambulan memecah keheningan kami. Beberapa detik setelah itu, seorang petugas
ambulan menghampiri kami.
“Permisi
anak – anak, apakah kalian tau seorang anak yang seumuran dengan kalian,
rambutnya sedikit ikal, dan memakai kaus hitam polos? Anak itu jatuh ke
jurang.” ujar petugas ambulan tersebut.
Hatiku
terdiam mendengar pertanyaan supir itu. Berbagai perasaan bersatu padu dalam
hatiku, entah apa yang kupikirkan. Namun yang jelas, sosok Tegar lah yang
terlintas dalam akalku kala mendengar pertanyaan itu. Nampaknya pikiranku
selaras dengan pikiran kedua rekanku yang sama terkejutnya.
“Tegar!!!
Itu Tegar!!” suara Darwis memecah kesunyian.
Irama
langkah kaki kedua rekanku memenuhi seisi ruangan. Ku ikuti kedua temanku ini,
dengan melangkahkan kaki secepat cahaya menuju pintu keluar.
“Hey
kalian! Apa yang kalian pikirkan? Apa kalian bodoh?” seseorang berseru saat
kami berlari.
Langkahku
terhenti saat kudengar suara itu. Namun berbeda dengan kedua temanku yang lain.
Darwis dan Juang tetap berlari, hingga bayangan mereka menghilang dalam kabut
kelabu.
Ragaku
tetap tak bergerak, sembari menatap tajam pintu keluar perpustakaan. Selang
beberapa detik, tepukan halus menghujam pundakku, lantas kupalingkan wajahku.
Sialan kau Tegar! Hampir 30 menit aku mencari orang itu, namun nyatanya ia
menipuku dengan pakaian ala pengemis.
“Kurang
ajar kau Gar! Kukira kau mati jatuh di jurang.” sentakku pada Tegar.
“Hahaha..
Mana mungkin aku mati. Perpustakaan ini memanggilku, jadi mana mungkin aku mati
hanya karena hujan yang sangat konyol.” balasnya optimis.
“Konyol
pantatmu! Hujan tadi sangat deras, jadi kupikir kau sudah pergi ke akhirat.”
ucapku kesal. “lalu sekarang bagaimana dengan Darwis dan Juang? Mereka sudah
berlari ke jurang untuk mencarimu.”
“Biar
saja mereka ke sana, aku akan membuat kejutan untuk mereka.
Itulah
Tegar, meski kepala sangat keras layaknya batu, namun otaknya tak pernah lepas
dari yang namanya buku, dan perpustakaan adalah tengkorak kepalanya. Mungkin
hanya orang ini yang berani melawan hujan petir hanya untuk membaca.
“Mau
baca?” tanya sahabatku itu sembari melemparku dengan sebuah buku.
Kubaca
judul yang tertera di depannya. “Kutu Buku Berkepala Batu” itulah judul buku
yang tegar lemparkan kepadaku.
“Tentu
saja bodoh! Buku itu jendela dunia!” balasku sederhana.
Comments
Post a Comment