CERPEN : KUTU BUKU BERKEPALA BATU



Oleh: Dertien


Mentari senja menerpa tubuhku dengan kemilau cahaya lembut, tak sesilau tiga jam sebelumnya. Angin yang nakal menerbangkan rambutku hingga belahannya tercecah – cecah di seputar tengkang mata dan jidat. Menerabas wajah. Kelopak mataku mengatup menikmati embusannya. Kuhela napas panjang, kupenuhi rongga dadaku hingga kembung. Kapuk randu yang terbuai, jatuh bergulung – gulung. Disaksikan seekor dekuku yang diam menekur.
Daun – daun dan ranting berjatuhan. Luruh dari tangkai – tangkainya. Beberapa lembar daun pisang berkibar layaknya panji – panji perang, sungguh sepadan dengan bajuku yang lepas kancing – kancingnya. Mataku terbeliak ketika melihat sebagian buahnya menggantung kuning, menggoda nafsuku untuk melahapnya. Aku meraih ranting kecil di dekatku, lalu kusenggol sedikit kulit kuningnya, dan jatuh tepat di depan mataku. Cekatan, Darwis menangkap pisang itu.
      “Kau sudah makan satu tadi! Jangan belajar jadi orang rakus! Orang tamak! Jangan belajar jadi orang tidak adil. Ini bagiannya Juang, bukan bagianmu!” hardik Darwis, ia melotot seperti kerasukan iblis.
Kubalas celetukan pedas Darwis dengan sebuah tatap sinis penuh amarah.
                  “Apa kau!” hardiknya lagi, getas. Matanya masih melotot. Lautan mata itu memutih semua.
                  “Aku cuman kepingin  melihat pisang ini Wis. Kan aku yang memetik. Kau tidak perlu kasar begitu padaku!” kataku membela.
                  “Lihat, ya lihat saja! Tidak boleh minta! Dari awal kita sudah sepakat kalau satu orang hanya dapat jatah satu pisang. Sedangkan kamu sudah makan tadi.” ucapnya. Matanya menghujam anak mataku. Lantas kupalingkan wajahku.
“Aku tahu, itu bagian Juang. Aku tidak akan mengambilnya Wis!” balasku kesal.
“Sudah sudah! Jangan bertengkar! Lagi pula itu hanya sebuah pisang, tidak perlu dibesar – besarkan!” tangkas Tegar, melerai perdebatan kami.
Meskipun tinggal di tempat terasing sebagaimana Pluto, di pedalaman kecil dekat hutan pinus, namun aku tak sendiri. Serupa Pluto yang ditemani saterlit alamnya, aku juga selalu bersama sahabatku : Darwis, Tegar, dan Juang.
“Lebih baik sekarang kita pergi ke pertustakaan, kita harus membaca sekaligus mengembalikan buku yang sudah kita pinjam ayo!” suruh Tegar.
Tanpa pikir panjang, kami pergi meninggalkan kebun pisang itu, dan pergi menuju perpustakaan. Perpustakaan itu letaknya cukup jauh dari desa kami. Butuh sekitar satu jam untuk sampai di sana dengan berjalan kaki. Bukit, sungai, dan jembatan, semua itu harus kami lewati untuk sampai di gudang buku yang kami sebut dengan perpustakaan.
Sementara itu, wajah bumi telah sepenuhnya mengeras. Cokelat kelabu warnanya. Terhampar luas sebagai lautan kematian di bawah tangkupan langit lazuardi nan cemerlang. Sawah – sawah dan jaringan empang di sela – selanya kering kerontang, tak setitik air pun ditemukan di sana. Inilah musim kemarau.
***
Tepat setelah kami berhasil menuruni bukit Kaligaru, suara gemuruh terdengar hingga tiga kali. Sudah lama sekali kami tidak mendengar suara seperti itu. Kurasai satu titik air menghujam pucuk hidungku.
“Hujan! Hujan mulai turun! Aku serius, aku kejatuhan air di pelipisku.”
Berkata demikian, Juang tengadah ke langit dengan wajah berbinar – binar.
“Iya, sudah mulai turun rintik – rintiknya! Aku juga sudah kejatuhan beberapa kali.
Menurut prakiraan cuaca, daerah kami bersuhu udara maksimal 27 derajat, bisa dipastikan setiap hari, setiap malam akan turun hujan. Seperti siang ini, hujan lebat menemani perjalanan kami. Namun seiring berjalannya waktu. Kami benar - benar terjebak hujan yang lebat. Hanya kami berempat, para pendekar Empat Arjuna. Gemuruh berkepanjangan terdengar sangat mencekam. Selain kami, tak ada seorang pun yang melintas di tempat sesepi ini
“Berlindung! Berlindung! Berlindung!” pekik Darwis memberi komando.
Akhirnya di sudut tikungan, kami berhenti. Kami berlindung di bawah pohon serabut yang mulai menderitakan gigil. Pohon serabut ini tinggi dan besar, diameternya saja sudah sekitar satu setengah meter.
Kami semua diam. Tak ada yang kami dengar selain kerapyak rau bunyi hujan dan detak takut jantung kami sendiri. Gelap, takut, giris, sedih, lembap, basah, dan gigil. Bukit – bukit hitam menjulang tinggi layaknya hantu raksasa yang menyeramkan. Aku yang berusia paling muda selalu meminta perlindungan terutama kepada Tegar, yang paling dewasa dari kami berempat. Aku meraih tangannya, dan tubuhku menciut kedinginan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyaku.
 Tak ada yang menyahut. Kami saling pandang meskipun tak ada yang dapat kami lakukan selain melawan rasa dingin luar biasa ini.
“Mau tak mau kita harus menembus hujan ini. Ayo, kita terobos saja!” cetus Tegar.
“Gila kau, Gar! Hujan lebat begini mau kita tembus juga?” protesku, “tidak! Aku tidak setuju. Aku tidak mau mati tersambar petir!”
Kali ini aku tidak setuju dengan idenya. Musim penghujan tahun lalu intensitas petir di bukit ini sangat besar. Tak dapat disangkal juga bahwa pertumbuhan awan cumulonimbus, awan yang membawa partikel listrik itu di tempat ini begitu tinggi.
“Aku juga tidak mau mati konyol. Lebih baik, kita bertahan dulu di sini paling tidak, menunggu hujan agak reda. Kita tidak mungkin menembus hujan selebat ini.” Darwis setuju dengan keberatanku.
“Tidak mungkin kita mati karena menembus hujan! Lagi pula perpustakaan sudah dekat. Kita harus mengembalikan buku yang sudah kita pinjam.” kata Tegar ngotot.
Menyebrangi sungai Kalirandu malam hujan begini? Di pagi hari saja kami harus mengakui arus sungai Kalirandu menjadi halangan serius, sering kami merasa kewalahan. Bagaimana jika siang hari ditambah hujan lebat?
“Gila kau! Kita bisa mati di jalan Gar!” pekik Darwis.
“Justru di sinilah kita akan mati! Karena kita diam maka tubuh kita tidak mengeluarkan keringat. Dan tubuh kita akan membeku seperti es balok, lalu mati kedinginan. Kita akan mati jika tidak menembus hujan ini!” nada bicara Tegar meninggi.
Juang yang dalam keadaan segenting apapun tetap tenang bagai Pantai Indah Kapuk dikepung banjir Jakarta, atau laksana Amerika dilanda krisis ekonomi dunia, masih diam dalam posisi seperti itu, diam berdekut, sambil menggigit ujung sarungnya.
“Pokoknya mau tidak mau kita harus menerobos hujan! Hanya itu satu-satunya pilihan kita sekarang. Ayo cepat sebentar lagi perpustakaannya tutup.” ujar Tegar ngotot.
“Tunggu Gar!” jerit Darwis menahan langkah Tegar, “bagaimana kalau di tengah jalan kita disambar petir? Lalu, bagaimana cara kita melewati sungai Kalirandu?”
Aku dan Juang diam serupa menhir yang terkutuk.
Namun, tanpa menjawab, Tegar segera meninggalkan kami, Kecipak langkah kakinya sempat menyipratkan air ke pipi dan mataku. Aku ini marah tapi urung.”
“Sekarang saja air Sungai Kalirandu sudah meluap Gar! Pasti itu! Lebih baik kita menunggu hujan reda. Jadi, walaupun air sungai meluap, setidaknya kita bisa mendayung dengan tenang. Tidak sambil hujan – hujanan begini!” Darwis tetap kukuh dengan pendapatnya.
“Iya Gar, kita di sini saja dulu. Lagi pula kita masih bisa mengembalikannya beso pagi. Selain itu kita juga tidak perlu membaca buku setiap hari kan?” si pendiam Juang pun ikut keberatan.
“Kalau kita telat mengembalikan buku ini kita bisa kena denda Ju! Memangnya kau rela memakai upah kerjamu di lading? Lagi pula membaca itu bukan sekedar permainan Ju! Membaca itu jembatan ilmu! Jangan dianggap remeh! Lagi pula Rasul sudah menganjurkan kita membaca!” Tegar mengusulkan tanggapan.
Dwar! Petir menjadi jeda yang tak diharapkan bersamaan dengan Tegar yang membacakan ayat Al Quran.
“Percayalah pada ayat yang kubacakan tadi. Kekuasaan Allah di atas segala – galanya. Kita tak perlu takut disambar petir atau terseret arus sungai!” suara Tegar berebut dengan hujan.
Begitu itulah Tegar, seperti itulah dirinya. Apa – apa yang ia katakan dan ia lakukan, semua dikembalikan ke petunjuk Allah.
“Gar! Jangan Gar!” pekik Darwis.
Lima langkah Tegar meniggalkan kami. Anak itu menuju semak – semak. Tebakanku hanya satu, ia mencari daun pisang untuk menutupi kepalanya.
“Kau mau, ayah-ibumu menangisi kematianmu Gar? Mau kau, kita semua mati dikuburkan bersama – sama? Sekaligus, satu waktu? Semua anggota Empat Arjuna mati? Mau kau, cita – cita kita berakhir malam ini?” ujar Darwis kesal.
“Wis, berapa kali mesti kubilang, resiko mati karena gigil justru lebih besar jika kita tetap berada di tempat ini. Menembus hujan adalah pilihan terbaik karena tubuh kita menjadi hangat. Tidak diam seperti batu. Tahu kau!” balas Tegar penuh emosi.
Ini sungguh seperti pertunjukan wayang kulit. Aku dan Juang adalah penonton, diam, bengong, melongo, sebentar kemudian, maglub, tertawa, sedih, menangis. Sementara itu, Darwis dan Tegar adalah Kurawa dan Pandawa yang selalu meributkan kekuasaan.
“Jangan Gegabah, Gar! Di mana akal sehatmu? Bodoh sekali kau jadi orang! Sepanjang perjalanan ini kita diancam petir. Jangan bodoh!” pekik Darwis.
Tanpa banyak cingcong, Tegar berbalik badan, kemudian menghilang di antara kerapatan hujan.
“Gar, berhenti Gar! Tegar, jangan... Gar!” aku pun menjerit, lost control. Melihat Tegar benar – benar nekat menembus hujan, aku seperti melihat kematian anak itu. Aku pun menitihkan air mata.
“Maafkan aku, Gar...” lirih kudengar Darwis menyesali pertengkarannya barusan, matanya menatap hamparan sawah yang rapat tertutup hujan.
Tegar telah lenyap sama sekali. Kami pun diam membisu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Juang memecah kebisuan.
Darwis tampak murung, kuyakin ia tengah meratapi nasib seorang Tegar.

***
Beberapa jam telah berlalu semenjak tragedi sarat emosi tadi. Aku, Darwis dan Juang memutuskan untuk meneruskan perjalanan, seiring berharap Tegar saat ini sedang menunggu kami di perpustakaan. Namun jauh dalam hati kecilku, sangat sulit membayangkan Tegar sampai di perpustakaan dengan selamat.
Memang begitulah Tegar. Semenjak dibangunnya perpustakaan di sebrang desa kami, ialah yang paling bersemangat untuk membaca. Menurutnya ini adalah kesempatan yang sangat langka. Karena tidak semua desa di pedalaman memiliki fasilitas untuk membaca buku. Di saat pemuda desa lain sibuk bermain atau membantu orang tua mereka di ladang, seorang Tegar selalu menyempatkan untuk mengajak kami untuk membaca buku di perpustakaan. Ia selalu percaya, dengan terus membaca ia dapat memperluas wawasannya hingga ia bisa menggapai impiannya; mengusir para investor asing dari lahan sawit milik desa kami.
***
Sesampainya di perpustakaan kami tidak melihat sosok seorang yang kharismatik seperti halnya Tegar. Sudah sekitar 20 menit kami mencari bocah kepala batu itu, namun hasilnya nihil. Akhirnya kami memutuskan untuk bertanya kepada seorang pemuda yang tengah membaca buku di dekat sebuah lemari pendingin, tepat sebelah pintu masuk.
Tampak dari belakang, orang itu menggunakan pakaian sederhana dengan kaus hitam dengan motif buku di bagian belakang, lalu sepasang bakiak kumuh yang ia gunakan. Kami terhenti pada langkah kelima saat hendak menghampiri orang itu. Suara sirine ambulan memecah keheningan kami. Beberapa detik setelah itu, seorang petugas ambulan menghampiri kami.
“Permisi anak – anak, apakah kalian tau seorang anak yang seumuran dengan kalian, rambutnya sedikit ikal, dan memakai kaus hitam polos? Anak itu jatuh ke jurang.” ujar petugas ambulan tersebut.
Hatiku terdiam mendengar pertanyaan supir itu. Berbagai perasaan bersatu padu dalam hatiku, entah apa yang kupikirkan. Namun yang jelas, sosok Tegar lah yang terlintas dalam akalku kala mendengar pertanyaan itu. Nampaknya pikiranku selaras dengan pikiran kedua rekanku yang sama terkejutnya.
“Tegar!!! Itu Tegar!!” suara Darwis memecah kesunyian.
Irama langkah kaki kedua rekanku memenuhi seisi ruangan. Ku ikuti kedua temanku ini, dengan melangkahkan kaki secepat cahaya menuju pintu keluar.
“Hey kalian! Apa yang kalian pikirkan? Apa kalian bodoh?” seseorang berseru saat kami berlari.
Langkahku terhenti saat kudengar suara itu. Namun berbeda dengan kedua temanku yang lain. Darwis dan Juang tetap berlari, hingga bayangan mereka menghilang dalam kabut kelabu.
Ragaku tetap tak bergerak, sembari menatap tajam pintu keluar perpustakaan. Selang beberapa detik, tepukan halus menghujam pundakku, lantas kupalingkan wajahku. Sialan kau Tegar! Hampir 30 menit aku mencari orang itu, namun nyatanya ia menipuku dengan pakaian ala pengemis.
“Kurang ajar kau Gar! Kukira kau mati jatuh di jurang.” sentakku pada Tegar.
“Hahaha.. Mana mungkin aku mati. Perpustakaan ini memanggilku, jadi mana mungkin aku mati hanya karena hujan yang sangat konyol.” balasnya optimis.
“Konyol pantatmu! Hujan tadi sangat deras, jadi kupikir kau sudah pergi ke akhirat.” ucapku kesal. “lalu sekarang bagaimana dengan Darwis dan Juang? Mereka sudah berlari ke jurang untuk mencarimu.”
“Biar saja mereka ke sana, aku akan membuat kejutan untuk mereka.
Itulah Tegar, meski kepala sangat keras layaknya batu, namun otaknya tak pernah lepas dari yang namanya buku, dan perpustakaan adalah tengkorak kepalanya. Mungkin hanya orang ini yang berani melawan hujan petir hanya untuk membaca.
“Mau baca?” tanya sahabatku itu sembari melemparku dengan sebuah buku.
Kubaca judul yang tertera di depannya. “Kutu Buku Berkepala Batu” itulah judul buku yang tegar lemparkan kepadaku.
“Tentu saja bodoh! Buku itu jendela dunia!” balasku sederhana.

Comments